Pages

Rabu, 25 November 2015

Jumlah Penduduk Paling Tinggi Dan Akibatnya


Nama :Gilang Brian Ramadhan
Kelas : 2ID06
NPM : 34414543
Ilmu Sosial Dasar #

Jumlah Penduduk Paling Tinggi Dan Akibatnya

Dunia yang kita tempati ini memiliki 195 Negara dengan jumlah penduduk (poplasi) sebanyak 7.256.490.011 jiwa (menurut CIA World Factbook Tahun 2015). Republik Rakyat China menempati urutan pertama dan merupakan Negara yang memiliki Populasi atau Jumlah Penduduk terbanyak di Dunia dengan jumlah penduduknya sekitar 1,36 milliar jiwa atau tepatnya adalah 1.367.485.388 jiwa. Angka tersebut merupakan 18,8% dari keseluruhan Jumlah Penduduk Dunia ini. Berada di Urutan kedua adalah India yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 1.251.695.584 jiwa atau sekitar 17,2% dari seluruhan Jumlah Penduduk di Dunia ini. Sedangkan Negara kita Republik Indonesia menduduki urutan keempat dengan Jumlah Penduduk-nya 255.993.674 jiwa (sekitar 255 Juta jiwa)  atau sekitar 3,5% dari keseluruhan Jumlah Penduduk Dunia.
Berikut ini adalah Daftar salah satu dari Negara dengan Jumlah Penduduk (Populasi) terbanyak di Dunia :

1. China

bendera china
Jumlah Penduduk : 1.367.485.388 jiwa
Luas Wilayah           : 9.596.961 km2
Rasio                         : 18,8% dari Jumlah Penduduk Dunia
Lokasi                        : Benua Asia
Populasi yang terus bertambah adalah salah satu ancaman paling serius bagi umat manusia. Ini saatnya kita mengidentifikasi apa penyebabnya dan mengambil langkah-langkah konkret untuk menghentikan pertumbuhan populasi yang berlebih.
Populasi penduduk yang berlebih adalah suatu kondisi dimana jumlah organisme melebihi daya dukung habitat mereka. Dengan meningkatnya populasi penduduk dunia maka kita harus berurusan dengan dampaknya dari pertumbuhan populasi yang berlebihan. Over populasi menyebabkan kelangkaan sumber daya ekonomi dan inflasi. Pertumbuhan populasi yang tinggi adalah masalah serius. Faktor utama penyebab terhadap pertumbuhan populasi penduduk yang tinggi adalah:
  • Peningkatan angka kelahiran
  • Umur panjang
  • Penurunan angka kematian
  • Kurangnya pendidikan
  • Pengaruh budaya
  • Imigrasi dan Emigrasi
Alasan lain di balik pertumbuhan populasi manusia adalah bahwa tidak ada musim kawin tertentu pada manusia. Mereka dapat kawin dan punya anak setiap saat sepanjang tahun, tidak seperti hewan lainnya di mana musim kawin dibatasi hanya untuk periode tertentu.

Penurunan tingkat kematian
Mengurangi tingkat kematian merupakan salah satu penyebab utama kelebihan penduduk. Karena kemajuan medis, banyak penyakit yang dapat disembuhkan. Karena kemajuan di bidang kedokteran baik preventif dan kuratif, penyakit telah diberantas atau mendapatkan pengobatan yang lebih efektif. Perkembangan dalam kedokteran telah menyebabkan kematian berkurang dan peningkatan harapan hidup pada manusia. Angka kematian bayi sangat rendah dan kasus kematian saat melahirkan sering berkurang. Perawatan pralahir yang baik telah meningkatkan kemungkinan bertahan hidup bagi ibu dan bayi.
Kenaikan tingkat kelahiran
Sekali lagi karena kemajuan di bidang kedokteran, tingkat kelahiran rata-rata sudah naik. Karena berbagai perawatan kesuburan tersedia saat ini, ada solusi yang efektif untuk masalah infertilitas, yang meningkatkan kemungkinan pembuahan.  Pernikahan dini juga berpengaruh terhadap pertumbuhan penduduk yang meningkatkan kemungkinan memiliki lebih banyak anak.
Kurangnya pendidikan
Buta aksara merupakan faktor penting sebagai penyebab terhadap pertumbuhan populasi yang tinggi. Mereka yang kurang pendidikan gagal untuk memahami kebutuhan dalam mengekang pertumbuhan penduduk. Metode pengendalian kelahiran dan keluarga berencana tidak mencapai dalam bagian buta huruf masyarakat. Pada strata terdidik dapat membuat keputusan yang lebih bertanggung jawab tentang pernikahan dan melahirkan. Dengan demikian pendidikan merupakan alat yang efektif untuk mengekang pertumbuhan populasi yang tinggi.
Pengaruh budaya
Konsep pengendalian kelahiran tidak diterima secara luas. Menerapkan langkah-langkah pengendalian kelahiran dianggap tabu dalam budaya tertentu. Beberapa kebudayaan memupuk kepercayaan di mana menikah pada usia tertentu atau memiliki sejumlah anak dan dianggap ideal. Dalam beberapa budaya, anak laki-laki lebih disukai. Hal ini secara tidak langsung memaksa pasangan untuk menghasilkan anak dengan jenis kelamin yang disukai. Selain itu, ada tekanan dari keluarga dan masyarakat untuk memiliki anak.
Migrasi
Migrasi merupakan masalah di beberapa belahan dunia. Jika penduduk dari berbagai negara bermigrasi ke bagian tertentu dan menetap di daerah itu, maka daerah tersebut menghadapi efek negatif dari kelebihan populasi. Hal ini dapat menyebabkan distribusi sumber daya yang tidak merata dari sumber daya alam yang merupakan konsekuensi langsung dari peningkatan populasi.
Kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa peningkatan jumlah konsumen menyiratkan peningkatan jumlah produsen pula. Kita perlu keseimbangan antara pertumbuhan penduduk dan konsumsi sumber daya. Dengan sumber daya yang terbatas, memerlukan pertumbuhan penduduk yang harus dikendalikan.

DAMPAK NEGATIF
Pertumbuhan penduduk yang tinggi sebenarnya membawa beberapa keuntungan, di antaranya adalah ketersediaan tenaga kerja yang melimpah. Namun, jika pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak dibarengi oleh kebijakan pemerintah yang baik dalam menghadapi masalah ini, maka pertumbuhan penduduk yang tinngi hanya akan membawa dampak yang buruk bagi suatu Negara. Adapun dampak negatif yang ditimbulkan dari pertumbuhan penduduk yang tinggi adalah: dari segi
  • Sosial ekonomiJumlah penduduk yang tinggi yang tidak dibarengi dengan lapangan kerja yang cukup hanya akan menimbulkan masalah kriminalitas. Orang yang tidak mempunyai pekerjaan bisa saja beralih menjadi criminal. Sebagai contoh, di kota-kota besar, banyak orang yang tidak mendapatkan pekerjaan yang mencukupi kebutuhannya. Mereka pun mencari nafkah dengan menjadi seorang kriminal seperti pencopet, perampok, dsb. Bukan hanya itu, dari segi sosial ekonomi, jumlah pertumbuhan penduduk yang tinggi yang tidak dibarengi dengan pendistribusian fasilitas yang merata akan mendorong terjadinya urbanisasi yang pada akhirnya akan memunculkan kelas sosial baru di masyarakat Ibukota. Adanya perumahan kumuh adalah contih konkrit dari masalah ini.
  • Pendidikan dan kesehatanPemerintah menginginkan penduduknya memenuhi standar kehidupan internasional. Keinginan mereka itu diterjemahkan dengan membuat kebijakan-kebijakan yang dapat memajukan masyarakatnya dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Namun, jika jumlah penduduk pada suatu Negara melebihi batas normal. Maka kebijakan ini tidak dapat dilaksanakan.
    Sebagian besar penduduk tidak akan mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai. Rendahnya kualitas pendidikan adalah salah satu faktor yang menyebabkan suatu negara rendah akan sumber daya manusianya.
  • Lingkungan HidupJumlah penduduk harus berbanding lurus dengan luas pemukiman. Masalah terjadi ketika lahan untuk pemukiman tidak cukup lagi untuk menampung banyaknya penduduk. Untuk mengatasi masalah ini, penduduk pun mengubah lahan pertanian atau hutan menjadi areal pemukiman baru. Masalah tidak sampai di situ saja. Membuka lahan pertanian atau hutan menjadi lahan pertanian justrus menimbulkan masalah lingkungan.
    Lahan pertanian atau hutan yang di sulap menjadi areal pemukiman mengakibatkan hilangnya daerah resapan air. Sebab, lahan yang semula jadi resapan air kini di poles dengan semen dan beton. Sehingga air tidak dapat meresap. Banjir pun tidak terhindarkan.
    Selain itu, ketika membuka hutan menjadi areal pemukiman, penduduk biasanya membakar hutan tersebut. sebagai akibatnya timbullah polusi udara yang disebabkan oleh hutan yang terbakar. Hal ini tidak hanya menjadi masalah domestic bagi satu Negara. Tetapi juga menjadi masalah bagi Negara lain. Sebab, akibat dari tindakan ini juga dirasakan oleh Negara lain.
Dampak Negatif Pertumbuhan Penduduk Lainnya:
  • Lahan tempat tinggal dan bercocok tanam berkurang
  • semakin banyaknya polusi dan limbah yang berasal dari rumah tangga, pabrik, perusahaan, industri, peternakan, dll
  • Angka pengangguran meningkat
  • Angka kesehatan masyarakat menurun
  • Angka kemiskinan meningkat
  • Pembangunan daerah semakin dituntut banyak
  • Ketersediaan pangan sulit
  • Pemerintah harus membuat kebijakan yang rumit
  • Angka kecukupan gizi memburuk
  • Muncul wanah penyakit baru
 DAMPAK POSITIF
Dampak positif dari banyaknya jumlah penduduk adalah mudah memperoleh tenaga kerja yang murah.
juga pertumbuhan penduduk yang tinggi dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena itu, meskipun program keluarga berencana (KB) digalakkan Indonesia, di sisi lain diperlukan angka pertumbuhan penduduk yang tinggi untuk meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi.
Pendapat yang didasarkan atas kajian penelitian itu dilontarkan oleh dosen Sekolah Tinggi Teologia (STT) Baptis Jakarta, Wilson Rajagukguk dalam disertasi doktornya di Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Kamis (14/1) pagi. Penelitian itu berangkat dari keinginan membuktikan dan mencari kebenaran mengenai adakah hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk.
Karena itu, Wilson Rajagukguk dalam disertasinya berjudul Pertumbuhan Penduduk sebagai Faktor Endogen dalam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia mengangkat masalah tersebut dalam ujian untuk meraih gelar doktor ilmu ekonomi di UI dengan penguji Sri Moertiningsih Adioetomo, Nachrowi Djalal, Prijono Tjiptoherijanto (promotor), berikut N Haidy Pasay, dan Mangara Tambunan dengan hasil sangat memuaskan.
Berdasarkan simulasi dan analisis yang dilakukan dalam penelitiannya, ternyata terlihat kalau angka pertumbuhan ekonomi proporsional terhadap angka pertumbuhan penduduk. Ini berarti, pertumbuhan penduduk di Indonesia berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian Wilson ini diperkuat dengan argumen yang dikemukakan oleh Jones (1995), yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada masa lalu disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Seperti diketahui, ada tiga aliran pemikiran dalam beberapa periode waktu yang membahas mengenai hubungan antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Aliran pertama adalah aliran tradisional pesimistis (1950-1970-an) yang beranggapan kalau pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menghambat pertumbuhan ekonomi (Malthusian dan Neo-Malthusian).
Masa Lalu
Aliran kedua adalah aliran revisionis yang meragukan pernyataan aliran sebelumnya karena tidak disertai dengan cukup bukti empiris. Sedangkan, aliran ketiga adalah aliran yang beranggapan kalau pertumbuhan penduduk memang sangat berarti bagi perkembangan ekonomi (population does matter, Birdsall dan Sindings, 2001).
Selain itu, disertasi timbul akibat banyaknya pendapat berbeda dari berbagai pemikir hebat mengenai pertumbuhan ekonomi pada masa lalu apakah karena meningkatnya pertumbuhan penduduk. Dengan menggunakan indikator angka pertumbuhan konsumsi, angka pertumbuhan kapital dan angka pertumbuhan output untuk mengevaluasi pertumbuhan ekonomi dan menggunakan indikator angka pertumbuhan penduduk untuk mengevaluasi pertumbuhan penduduk, maka penelitian ini lebih dapat akurat.
Sementara itu, Young (1995) mengemukakan, kalau pertumbuhan yang terjadi di Indonesia bersama Jepang, Hong Kong, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Thailand, dan Malaysia merupakan dampak transisi demografi. Negara-negara tersebut bertumbuh karena mereka mengambil langkah besar dalam akumulasi modal fisik dan modal manusia.
Karena itu, Wilson ingin membuktikan kalau pendapat yang mengemuka selama ini kalau pertumbuhan penduduk berbanding negatif dengan pertumbuhan ekonomi adalah salah. Karena masih ada indikasi yang lain, yaitu berhubungan dengan anak usia sekolah yang selanjutnya bekerja.
SUMBER.

Menikah, cerai, anak disiapa dan status warga negaranya

Nama : Gilang Brian Ramadhan
Kelas : 2ID06
NPM : 34414543
Ilmu Sosial Dasar#


Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran

STATUS HUKUM ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN
BERDASARKAN HUKUM INDONESIA
[1]
I. PENDAHULUAN

Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia.[2] Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain.[3] Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di indonesia.

Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :

”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.” 

Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.

Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.

Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.

Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran, berikut komparasinya terhadap UU Kewarganegaraan yang lama. Secara garis besar perumusan masalah adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana pengaturan status hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran sebelum dan sesudah lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru?
  2. Apakah kewarganegaraan ganda ini akan menimbulkan masalah bagi anak?
II. ANAK SEBAGAI SUBJEK HUKUM
Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah :

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup.[4] Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.

III. PENGATURAN MENGENAI ANAK DALAM PERKAWINAN CAMPURAN
A. Menurut Teori Hukum Perdata Internasional
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan[5], apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.

Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal[6]. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis).[7] Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya.[8] Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.[9]

Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun 1958.[10]

Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.

B. Menurut UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958
1. Permasalahan dalam perkawinan campuran
Ada dua bentuk perkawinan campuran dan permasalahannya:

a. Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan Wanita Warga Negara
Indonesia (WNI)

Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa.[11] Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena satu dan lain hal( faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dll) maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan.[12]

b. Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga Negara Indonesia (WNI)

Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan pasal 7 UU No.62 Tahun 1958 apabila seorang perempuan WNA menikah dengan pria WNI, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya. Permohonan untuk menjadi WNI pun harus dilakukan maksimal dalam waktu satu tahun setelah pernikahan, bila masa itu terlewati , maka pemohonan untuk menjadi WNI harus mengikuti persyaratan yang berlaku bagi WNA biasa.[13] Untuk dapat tinggal di Indonesia perempuan WNA ini mendapat sponsor suami dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal maka ia akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia menjadi tidak jelas Setiap kali melakukan perjalanan keluar negri memerlukan reentry permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsor.[14] Bila suami meninggal tanah hak milik yang diwariskan suami harus segera dialihkan dalam waktu satu tahun.[15] Seorang wanita WNA tidak dapat bekerja kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan sponsor suami hanya dapat bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari WNI, perempuan ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah tangga.

2. Anak hasil perkawinan campuran
Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :

“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”

Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing :

1. Menjadi warganegara Indonesia

Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya.[16] Bila suami meninggal dunia dan anak anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami.[17]

2. Menjadi warganegara asing

Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara asing.[18] Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.

Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).[19]

C. Menurut UU Kewarganegaraan Baru
1. Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran

Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:[20]
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.[21]

Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.[22]

2. Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran

Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.[23]
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya.[24] Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.[25]

Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.

Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka.[26] Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.[27]

Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum[28] pada ketentuan negara yang lain.

Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah[29]maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil[30] harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil[31] mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.

Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian para ahli hukum perdata internasional.

3. Kritisi terhadap UU Kewarganegaraan yang baru

Walaupun banyak menuai pujian, lahirnya UU baru ini juga masih menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satu pujian sekaligus kritik yang terkait dengan status kewarganegaraan anak perkawinan campuran datang dari KPC Melati (organisasi para istri warga negara asing).

“Ketua KPC Melati Enggi Holt mengatakan, Undang-Undang Kewarganegaraan menjamin kewarganegaraan anak hasil perkawinan antar bangsa. Enggi memuji kerja DPR yang mengakomodasi prinsip dwi kewarganegaraan, seperti mereka usulkan, dan menilai masuknya prinsip ini ke UU yang baru merupakan langkah maju. Sebab selama ini, anak hasil perkawinan campur selalu mengikuti kewarganegaraan bapak mereka. Hanya saja KPC Melati menyayangkan aturan warga negara ganda bagi anak hasil perkawinan campur hanya terbatas hingga si anak berusia 18 tahun. Padahal KPC Melati berharap aturan tersebut bisa berlaku sepanjang hayat si anak.[32]

Penulis kurang setuju dengan kritik yang disampaikan oleh KPC Melati tersebut. Menurut hemat penulis, kewarganegaraan ganda sepanjang hayat akan menimbulkan kerancuan dalam menentukan hukum yang mengatur status personal seseorang. Karena begitu seseorang mencapat taraf dewasa, ia akan banyak melakukan perbuatan hukum, dimana dalam setiap perbuatan hukum tersebut, untuk hal-hal yang terkait dengan status personalnya akan diatur dengan hukum nasionalnya, maka akan membingungkan bila hukum nasional nya ada dua, apalagi bila hukum yang satu bertentangan dengan hukum yang lain. Sebagai contoh dapat dianalogikan sebagai berikut :

“Joko, pemegang kewarganegaraan ganda, Indonesia dan Belanda, ia hendak melakukan pernikahan sesama jenis. Menurut hukum Indonesia hal tersebut dilarang dan melanggar ketertiban hukum, sedangkan menurut hukum Belanda hal tersebut diperbolehkan. Maka akan timbul kerancuan hukum mana yang harus diikutinya dalam hal pemenuhan syarat materiil perkawinan khususnya.”

Terkait dengan persoalan status anak, penulis cenderung mengkritisi pasal 6 UU Kewarganegaraan yang baru, dimana anak diizinkan memilih kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah. Bagaimana bila anak tersebut perlu sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan sebelum menikah, karena sangat terkait dengan penentuan hukum untuk status personalnya, karena pengaturan perkawinan menurut ketentuan negara yang satu ternyata bertentangan dengan ketentuan negara yang lain. Seharusnya bila memang pernikahan itu membutuhkan suatu penentuan status personal yang jelas, maka anak diperbolehkan untuk memilih kewarganegaraannya sebelum pernikahan itu dilangsungkan. Hal ini penting untuk mengindari penyelundupan hukum, dan menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di suatu negara.

IV. KESIMPULAN
Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.

UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik, termasuk terkait dengan status anak. Penulis juga menganalogikan sejumlah potensi masalah yang bisa timbul dari kewarganegaraan ganda pada anak. Seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum, UU Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi masalah.
***
Beberapa Tulisan Terkait Lainnya:
-----
Catatan Kaki:
[1] Terima kasih saya sampaikan kepada Chandra Karina, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Program Hukum Transnasional), atas waktunya guna memperkaya wawasan Law Blog ini.

[2] Nuning Hallet, Mencermati Isi Rancangan UU Kewarganegaraan, http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=51, diakses 12 August 2006.

[3] Ibid.

[4] Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata; Suatu Pengantar, Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005, hal.21.

[5] Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, B, Jilid III Bagian I, Buku ke-7, Bandung: Penerbit Alumni, 1995, hal.86.

[6] Statuta personalia adalah kelompok kaidah yang mengikuti kemana ia pergi. Sudargo, op.cit., hal.3.

[7] Ibid., hal.80

[8] Ibid.

[9] Ibid, hal.81.

[10] Ibid., hal.91.

[11] Cara pewarganegaraan ini mengikuti ketentuan pasal 5 UU No.62 Tahun 1958.

[12] Mixed Couple Indonesia, Masalah yang saat ini dihadapi keuargal perkawinan campuran, http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=%20publisher&op=view%20article&artid=46, diakses 12 Agustus 2006.

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Lihat pasal 21 UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.

[16] Lihat pasal 15 ayat (2) dan 16 (1) UU No.62 Tahun 1958

[17] Mixed Couple Indonesia, op.cit.

[18] Anak yang lahir dari perkawinan seperti ini tidak termasuk dalam definisi warga Negara yang tercantum dalam pasal 1 UU No.62 Tahun 1958, sehingga dapat digolongkan sebagai warga negara asing. Indonesia menganut asas ius sanguinis, kewarganegaraan anak mengikuti orang tua, yaitu bapak.

[19] Pasal 15 UU No.62 Tahun 1958.

[20] Lihat penjelasan UU Kewarganegaraan yang baru.

[21] Ibid.

[22] Pasal 25 UU Kewarganegaraan RI yang baru

[23] Pasal 4 huruf c dan d UU Kewarganegaraan RI yang baru.

[24] Pasal 6 ayat (1) UU Kewarganegaraan RI yang baru

[25] Pasal 6 ayat (3) UU Kewarganegaraan RI yang baru

[26] Gautama, op.cit., hal.13.

[27] Gautama, op.cit., hal.66.

[28] Ketertiban umum dapat diartikan sebagai sendi-sendi azasi hukum nasional sang hakim. Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung: Binacipta, 1977, hal.133.

[29] Karena belum berusi 18 tahun ia belum memilih kewarganegaraannya, sedangkan pemilihan kewarganegaraan berdasar pasal 6 UU Kewarganegaraan yang baru dilakukan sesudah perkawinan, bukan sebelum.

[30] Syarat materiil adalah syarat yang menyangkut pribadi calon mempelai dan larangan-larangan menikah.

[31] Syarat formil adalah syarat yang menyangkut formalitas yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan. Syarat formil biasanya terkait dengan urusan administrasi perkawinan.
[32] UU Kewarganegaraan Baru Tentang Diskriminasi dan Kewarganegaraan Ganda, Liputan KBR 68H, http://www.ranesi.nl/tema/temahukdanham/%20uu_kewarganegaraan_baru060713, diakses 12 Agustus 2006.

Sumber : Jurnal Hukum "Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran" September 17, 2006
 http://jurnalhukum.blogspot.co.id/2006/09/status-hukum-anak-hasil-perkawinan.html

Undang-Undang Warga Negara Terbaru

NAMA : Gilang Brian Ramadhan
NPM : 34414543
Kelas : 2ID06
Ilmu Sosial Dasar #

Undang-undang & Peraturan Kewarganegaraan

Pada tanggal 1 Agustus 2006, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia telah diundangkan dan diberlakukan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958.
Hal-hal yang menonjol dari Undang-Undang di atas adalah:
  1. Sifat non-discriminatif yaitu status kewarganegaraan Indonesia seseorang tidak lagi ditentukan berdasarkan ras, keturunan, suku bangsa, agama dsb, tetapi ditentukan berdasarkan aturan hukum.
  2. Memberi kewarganegaraan terbatas kepada:
    • Anak WNI yang lahir dari suatu perkawinan campuran.
    • Anak WNI yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan.
    • Anak dari pasangan WNI yang lahir di negara yang menganut asas ius soli.
    • Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah dan diakui oleh ayahnya yang WNA.
  3. Memberi kesempatan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia kepada anak-anak yang lahir dari suatu perkawinan campuran yang lahir sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI yang belum berusia 18 tahun dan belum kawin.
  4. Persamaan di depan hukum bagi perempuan dan laki-laki untuk mengajukan pewarganegaraan.
  5. Kehilangan kewarganegaraan bagi suami atau istri yang terikat perkawinan yang sah tidak menyebabkan hilangnya status kewarganegaraan dari istri atau suami.
  6. Kehilangan kewarganegaraan Indonesia bagi seorang ayah atau ibu tidak dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya.

Produk Hukum

Berikut ini adalah kumpulan Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya yang terkait dengan Kewarganegaraan.
  1. Undang-undang no 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
  2. Peraturan Pemerintah no 2 tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia
  3. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia no M.01-HL.03.01 tahun 2006 tentang tata cara pendaftaran untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan pasal 41 dan memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan pasal 42 undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia
  4. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia no M.02-HL.05.06 tahun 2006 tentang tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi warga negara Republik Indonesia
  5. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia no M.08-HL.04.01 tahun 2007 tentang tata cara pendaftaran, pencatatan, dan pemberian fasilitas keimigrasian sebagai WNI yang berkewarganegaraan ganda.

Selasa, 24 November 2015

Pelapisan Sosial Dan Kesamaan Drajat


Nama : Gilang Brian Ramadhan
Kelas : 2ID06
NPM : 34414543


Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat).

Berikut ini beberapa pengertian stratifikasi sosial menurut ahli:

Pitirim A. Sorokin (Dalam Basrowri 60 ; 2005)
Stratifikasi sosial diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (herarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya Sorokin, mengemukakan bahwa inti dari lapisan sosial adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dengan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggotaanggota masyarakat.

Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (iiix ; 1999)
Stratifikasi sosial berarti sistem perbedaan status yang berlaku dalam suatu masyarakat.

Soejono Soekanto (228 ; 2005)
Stratifikasi sosial adalah pembedaan posisi seseorang atau kelompok dalam kedudukan berbeda-beda secara vertikal.

Astried S. Susanto (98 ; 1983)
Stratifikasi sosial adalah hasil kebiasaan hubungan antarmanusia secara teratur dan tersusun sehingga setiap orang, setiap saat mempunyai situasi yang menentukan hubungannya dengan orang secara vertikal maupun mendatar dalam masyarakatnya.

D. Hendropuspito OC (109 ; 1990)
Stratifikasi sosial adalah tatanan vertikal berbagai lapisan sosial berdasarkan tinggi rendahnya kedudukan.
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pelapisan sosial adalah pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara vertikal, yang diwujudkan dengan adanya tingkatan masyarakat dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah.

Walaupun secara teoritis, semua manusia memiliki kesamaan derajat. Namun pada kenyataannya tidak demikian halnya, di antara masing-masing manusia membuat pembedaan-pembedaan sendiri yang didasarkan pada unsur-unsur tertentu. Sistem pembedaan yang terwujud dalam pelapisan sosial merupakan gejala yang umum terjadi. Terjadinya Pelapisan Sosial Ada dua tipe penyebab terjadinya stratifikasi sosial. pertama, terjadi dengan sendirinya, kedua, terjadi secara sengaja. Stratifikasi yang terjadi dengan sendirinya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa individu sejak lahir. Misalnya usia, jenis kelamin, keturunan, sifat keaslian keanggotaan seseorang dalam masyarakat. Sedangkan stratifikasi sosial yang terjadi dengan sengaja untuk tujuan bersama dilakukan dalam pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi-organisasi formal, seperti: pemerintahan, partai politik, perusahaan, perkumpulan, angkatan bersenjata.

Beberapa kriteria yang menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial adalah sebagai berikut.

Ukuran kekayaan.
Seseorang yang memiliki kekayaan paling banyak termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut dapat dilihat melalui ukuran rumah, mobil pribadi, cara berpakaian, dsb.

Ukuran kekuasaan.
Seseorang yang memiliki wewenang terbesar menempati lapisan paling atas. Misalnya saja presiden, menteri, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, hingga ketua RT.

Ukuran kehormatan.
Orang yang paling disegani dan dihormati biasanya mendapatkan tempat paling tinggi. Ukuran ini banyak dijumpai pada pada masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.

Ukuran ilmu pengetahuan.
Seseorang yang memiliki derajat pendidikan yang tinggi menempati posisi teratas dalam masyarakat. Misalnya, seorang sarjana lebih tinggi tingkatannya daripada seorang lulusan SMA. Akan tetapi, ukuran tersebut kadang menyebabkan terjadinya efek negatif karena ternyata bukan mutu ilmu pengetahuannya yang menjadi ukuran, melainkan ukuran gelar kesarjanaannya. Ukuran-ukuran diatas tidaklah bersifat limitatif.

Perbedaan Sistem Pelapisan Sosial dalam masyarakat Menurut sifatnya, sistem pelapisan dalam masyarakat dibedakan menjadi:

-Sistem pelapisan masyarakat yang tertutup
Dalam sistem ini, pemindahan anggota masyarakat kelapisan yang lain baik ke atas maupun ke bawah tidak mungkin terjadi, kecuali ada hal-hal istimewa. Di dalam sistem yang tertutup, untuk dapat masuk menjadi dari suatu lapisan dalam masyarakat adalah karena kelahiran. Di India, sistem ini digunakan, yang masyarakatnya mengenal sistem kasta. Sebagaimana yang kita ketahui masyarakat terbagi ke dalam :

Kasta Brahma : merupakan kasta tertinggi untuk para golongan pendeta

Kasta Ksatria : merupakan kasta dari golongan bangsawan dan tentara yang dipandang sebagai lapisan kedua

Kasta Waisya : merupakan kasta dari golongan pedagang

Kasta sudra : merupakan kasta dari golongan rakyat jelata

Paria : golongan bagi mereka yang tidak mempunyai kasta. seperti : kaum gelandangan, peminta,dsb.

-System pelapisan masyarakat yang terbuka
Stratifikasi ini bersifat dinamis karena mobilitasnya sangat besar. Setiap anggota strata dapat bebas melakukan mobilitas sosial, baik vertikal maupun horisontal.
Contoh:
Seorang miskin karena usahanya bisa menjadi kaya, atau sebaliknya.
Seorang yang tidak/kurang pendidikan akan dapat memperoleh pendidikan asal ada niat dan usaha.

– System pelapisan social campuran
Stratifikasi sosial c a m p u r a n m e r u p a k a n kombinasi antara stratifikasi tertutup dan terbuka. Misalnya, seorang Bali b e r k a s t a Brahmana mempunyai kedudukan terhormat di Bali, namun apabila ia pindah ke Jakarta menjadi buruh, ia memperoleh kedudukan rendah. Maka, ia harus menyesuaikan diri dengan aturan kelompok masyarakat di Jakarta.

II.Kesamaan Derajat
Kesamaan derajat adalah suatu sifat yang menghubungankan antara manusia dengan lingkungan masyarakat umumnya timbal balik, maksudnya orang sebagai anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban, baik terhadap masyarakat maupun terhadap pemerintah dan Negara. Hak dan kewajiban sangat penting ditetapkan dalam perundang-undangan atau Konstitusi. Undang-undang itu berlaku bagi semua orang tanpa terkecuali dalam arti semua orang memiliki kesamaan derajat. Kesamaan derajat ini terwujud dalam jaminan hak yang diberikan dalam berbagai faktor kehidupan.
Pelapisan sosial dan kesamaan derajat mempunyai hubungan, kedua hal ini berkaitan satu sama lain. Pelapisan soasial berarti pembedaan antar kelas-kelas dalam masyarakat yaitu antara kelas tinggi dan kelas rendah, sedangkan Kesamaan derajat adalah suatu yang membuat bagaimana semua masyarakat ada dalam kelas yang sama tiada perbedaan kekuasaan dan memiliki hak yang sama sebagai warga negara, sehingga tidak ada dinding pembatas antara kalangan atas dan kalangan bawah.

Pasal – Pasal dalam UUD 1945 tentang Persamaan Hak

UUD 1945 menjamin hak atas persamaan kedudukan, hak atas kepastian hukum yang adil, hak mendapat perlakuan yang sama di depan hukum dan hak atas kesempatan yang sama dalam suatu pemerintahan.
Setiap masyarakat memiliki hak yang sama dan setara sesuai amanat UUD 1945, yaitu Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan,” setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada pengecualiannya”. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan,” setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan,” setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyatakan, ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan ddari perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Norma-norma konstitusional di atas, mencerminkan prinsip-prinsip hak azasi manusia yang berlaku bagi seluruh manusia secara universal.

Massa
Istilah massa dipergunakan untuk menunjukkan suatu pengelompokkan kolektif lain yang elementer dan spontan, yang dalam beberapa hal menyerupai crowd, tapi sayang secara fundamental berbeda dengannya dalam hal-hal yang lain. Massa diwakili oleh orang-orang yang berperan serta dalam perilaku massal yang sepertinya mereka yang terbangkitkan minatnya oleh beberapa peristiwa nasional, mereka yang menyebar di berbagai tempat, mereka yang tertarik pada suatu peristiwa pembunuhan sebagai berita dalam pers, atau mereka yang berperan serta dalam suatu migrasi dalam arti luas.

Ciri-Ciri Massa
Beberapa hal penting yang merupakan sebagian ciri-ciri yang membedakan di dalam massa :
1. Keanggotaannya berasal dari semua lapisan masyarakat atau strata sosial, meliputi orang-orang dari berbagai posisi kelas yang berbeda, dari jabatan kecakapan, tingkat kemakamuran atau kebudayaan yang berbeda-beda. Orang bisa mengenali mereka sebagai massa misalnya orang-orang yang sedang mengikuti suatu proses peradilan tentang pembunuhan misalnya melalui pers.
2. Massa merupakan kelompok yang anonim, atau lebih tepat, tersusun dari individu-individu yang anonim.
3. Sedikit sekali interaksi atau bertukar pengalaman antara anggota­anggotanya.

Sumber :
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Stratifikasi_sosial
http://asrarudin91.blogspot.com/2013/09/4-penyebab-terjadinya-stratifikasi.html
http://dh3m0echan.wordpress.com/2011/01/02/31/
http://saranghanda-yeongwonhi.blogspot.com/2012/11/makalah-pelapisan-sosial-dan-kesamaan.html

Senin, 19 Oktober 2015

Ilmu Sosial Dasar - Teknologi Dan Kemiskinan


Nama    : Gilang Brian Ramadhan
NPM      : 34414543
Kelas     : 2ID06

Teknologi Dan Kemiskinan
Teknologi dalam penerapannya sebagai jalur utama yang dapatmenyongsong masa depan cerah, kepercayaannya sudah mendalam. Sikapdemikian adalah wajar, asalkan tetap dalam konteks penglihatan yang rasional.Sebab teknologi, selain mempermudah kehidupan manusia, mempunyaidampak sosial yang sering lebih penting artinya daripada kehebatan teknologiitu sendiri. Schumacher, dalam Kecil itu Indah, dunia modern yang dibentuk olehteknologi menghadapi tiga krisis sekaligus. Pertama, sifat kemanusiaan berontak terhadap pola-pola politik, organisasi, dan teknologi yang tidakberperikemanusiaan, yang terasa menyesakan napas dan melemahkan badan.
Kedua, lingkungan hidup menderita dan menunjukkan tanda-tandasetengah binasa. Ketiga, penggunaan sumber daya yang tidak dapat dipulihkan,seperti bahan bakar, fosil, sedemikian rupa sehingga akan terjadi kekurangansumber daya alam tersebut. Oleh karena itu dipertanyakan, bagaimana perananteknologi dalam usaha mengatasi kemiskinan dan membatasi alternatifpemecahan masalah serta mempengaruhi hasilnya. Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagaiperjuangan yang akan memperoleh kemerdekaan bangsa dan motivasi funda-mental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur. Hal itu sudahsejak lama oleh sarjana ekonomi di banyak negara digeluti dan dipecahkan,dan setiap kali pula pemecahannya lolos dari genggaman, dan berkembangmenjadi masalah baru. Berbicara tentang masalah kemiskinan akan dihadapkankepada persoalan lain, seperti persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok,posisi manusia dalam lingkungan sosial, dan persoalan yang lebih jauh;bagaimana ilmu pengetahuan (ekonomi) dan teknologi memanfaatkan sumberdaya alam untuk membasmi kemiskinan. Ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemiskinan merupakan bagian-bagian yang tidak dapat dibebaskan dan dipisahkan dari suatu sistem yangberinteraksi, interelasi, interdependensi, dan ramifikasi (percabangannya). Dengan demikian wajarlah apabila menghadapi masalah yang kompleks ini,memerlukan studi mendalam dan analisis interdisipliner kalau tidak mau mencampur adukkan unsur-unsur sintesis dengan sintesisnya sendiri. Maka usaha mulia berikutnya adalah untuk membuatnya operasional dalamrangka social engineering-nya. Oleh sebab itu tulisan ini hanyalah bersifatpenjajagan problema, kalau mungkin sampai mencari interelasi, interaksi,interdependensi, dan ramifikasi dari berbagai unsur sistem dan subsistem.

TEKNOLOGI
Dalam konsep yang pragmatis dengan kemungkinan berlaku secaraakademis dapatlah dikatakan, bahwa ilmu pengetahuan (body of knowledge),dan teknologi sebagai suatu seni (state of art) yang mengandung pengertianberhubungan dengan proses produksi; menyangkutcara bagaimana berbagaisumber, tanah, modal, tenaga kerja dan keterampilan dikombinasikan untukmerealisasi tujuan produksi. “Secara konvensional mencakup penguasaan duniafisik dan biologis, tetapi secara luas juga meliputi teknologi sosial, terutamateknologi sosial pembangunan (the social technology of development) sehinggateknologi itu adalah metode sistematis untuk mencapai setiap tujuan insani.”(Eugene Staley, 1970). Dari batasan di atas jelas, bahwa teknologi social pembangunanmemerlukan semua science dan teknologi untuk dipertemukan dalammenunjang tujuan-tujuan pembangunan, misalnya perencanaan dan programingpembangunan, organisasi pemerintah dan administrasi negara untukpembangunan sumbersumber insani (tenaga kerja, pendidikan dan latihan), dan teknik pembangunan khusus dalam sektor-sektor seperti pertanian, industri, dan kesehatan. Teknologi memperlihatkan fenomenanya dalam masyarakat sebagai halimpersonal dan memiliki otonomi mengubah setiap bidang kehidupan manusiamenjadi lingkup teknis. Jacques Ellul dalam tulisannya berjudul “The Tech-nological Society” (1964) tidak mengatakan teknologi tetapi teknik, meskipunarti atau maksudnya sama. Menurut Ellul istilah teknik digunakan tidak hanyauntuk mesin, teknologi atau prosedur untuk memperoleh hasilnya, melainkantotalitas motode yang dicapai secara rasional dan mempunyai efisiensi (untukmemberikan tingkat perkembangan) dalam setiap bidang aktivitas manusia.Batasan ini bukan bentuk teoritis, melainkan perolehan dari aktivitas masing-masing dan ohservasi fakta dari apa yang disebut manusia modern denganperlengkapan tckniknya. Jadi teknik menurut Ellul adalah berbagai usaha,metode dan cara untuk memperoleh hasil yang sudah distandardisasi dandiperhitungkan sebelumnya. Fenomena teknik pada masyarakat kini, menurut Sastrapratedja (1980)memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Rasionalitas, artinya tindakan spontak oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional. b. Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah.
Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusandilaksankaan serba otomatis. Demikian pula dengan teknik mampumengelimkinasikan kegiatan non-teknis menjadi kegiatan teknis. Teknis berkembang pada suatu kebudayaan. Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan salingbergantung. Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan danediologi, bahkan dapat menguasai kebudayaan. Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri. Teknologi yang berkembang dengan pesat, meliputi berbagai bidng kehidupan manusia. Masa sekarang nampaknya sulit memisahkan kehidupanmanusia dengan teknologi` bahkan sudah merupakan kebutuhan manusia. Awalperkembangan teknik yang sebelumnya merupakan bagian dari ilmu ataubergantung dari ilmu, sekarang ilmu dapat pula bergantung dari teknik.Contohnya dengan berkembang pesatnya teknologi komputer dan teknologisatelit ruang angkasa, maka diperoleh pengetahuan baru dari hasil kerja keduaproduk teknologi tersebut. Luasnya bidang teknik, digambarkan oleh Ellulsebagai berikut : 1. Teknik meliputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu menghasilkanbarang-barang industri. Dengan teknik, mampu mengkonsentrasikan kapital sehingga terjadisentralisasi ekonmi. Bahkan ilmu ekonomi sendiri terserap oleh teknik. Teknik meliputi bidang organisasi seperti administrasi, pemerintahan,manajemen, hukum dan militer. Contohnya dalam organisasi negara, bagiseorang teknik negara hanyalah merupakan ruang lingkup untuk aplikasialat-alat yang dihasilkan teknik. Negara tidak sepenuhnya bermaknasebagai ekspresi kehendak rakyat, tetapi dianggap perusahaan yang harusmemberikan jasa dan dibuat berfungsi secara efisien. Negara tidak lagiberurusan dengan keadilan sosial sebagai tumpuannya, melainkan menurutahli teknik negara harus menggunakan teknik secara efisien. Teknik meliputi bidang manusiawi, seperti pendidikan, kerja, olahraga,hiburan dan obat-obatan. Teknik telah menguasai seluruh sektor kehidupanmanusia, manusia semakin harus beradaptasi dengan dunia teknik dantidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik.
Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan adalah suatuproses dehumanisasi secara perlahan-lahan sampai akhirnya manusiatakluk pada teknik. Teknik-teknik manusiawi yang dirasakan pada masyarakat teknologi, terlihat dari kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia pada saat initelah begitu jauh dipengaruhi oleh teknik. Gambaran kondisi tersebut adalahsebagai berikut : 1. Situasi tertekan. Manusia mengalami ketegangan akibat penyerapanteknik-teknik mekanisme-mekanisme teknik. Manusia melebur dengankemanisme teknik, sehingga Waktu manusia dan pekerjaannya mengalamipergeseran. Peleburan manusia dengan mekanisme teknik, menuntutkualitas dari manusia, tetapi manusia sendiri tidak hadir di dalamnyaatau pekerjaannya. Contoh pada sistem industri ban berjalan, seorang buruh meskipun sakitatau lelah. atau pun ada berita duka bahwa anaknya sedang seka ratdirumah sakit, mungkin pekerjaan itu tidak dapat ditinggalkan sebabakan membuat macet garis produksi dan upah bagi temannya. Keadaan tertekan demikian, akan menghilangkan nilai- nilai sosial dan tidakmanusiawi lagi. Perubahan ruang dan lingkungan manusia. Teknik telah mengubahlingkungan manusia dan hakikat manusia. Contoh yang sederhana manusiadalam hal makan atau tidur tidak ditentukan oleh lapar atau ngantuktetapi diatur oleh jam. Alat-alat transportasi telah mengubah jarak pola komunikasi manusia.Lingkungan manusia menjadi terbatas, tidak berhubungan dengan padangrumput, pantai, pohon-pohon atau gunung secara langsung, yang adahanyalah bangunan tinggi yang padat, sehingga sinar matahari pagi hari(banyak mengandung sinar ultra violet) tidak sempat lagi menyentuhpermukaan kulit tubuh manusia. Perubahan waktu dan gerak manusia. Akibat teknik, manusia terlepasdari hakikat kehidupan. Sebelumnya waktu diatur dan diukur sesuaidengan kebutuhan dan peristiwa-peristiwa dalam hidup manusia, sifatnyaalamiah dan kongkrit. Tetapi sekarang waktu menjadi abstrak denganpembagian jam, menit dan detik. Waktu hanya mempunyai kuantitasbelaka tidak ada nilai kualitas manusiawi atau sosial, sehingga iramakehidupan harus tunduk kepada waktu yang mengkanistis dengan mengorbankan nilai kualitas manusiawi dan nilai sosial. 4. Terbentuknya suatu masyarakat massa. Akibat teknik, manusia hanyamembentuk masyarakat massa, artinya ada kesenjangan sebagaimasyarakatkolektif. Hal ini dibuktikan bila ada perubahan norma dalammasyarakat maka akan muncul kegoncangan. Masyarakat kita masihmemegang nilai-nilai asli (primordial) seperti agama atau adat istiadatsecara ideologis, akan tetapi struktur masyarakat atau pun dunia normapokoknya tetap saja hukum ekonomi, politik atau persaingan kelas. Prosessekularisasi sedang berjalan seara tidak disadari. Proses massafikasi yangmelanda kita dewasa ini, telah menghilangkan nilai-nilai hubungan sosialsuatu komunitas. Padahal individu itu perlu hubungan sosial. Terjadinyaneurosa obsesional atau gangguan syaraf menurut beberapa ahli, sebagaiakibat hilangnya nilai-nilai hubungan sosial; Yaitu kegagalan adaptasi dan penggantian relasi-relasi komunal denganrelasi yang bersifat teknis. Struktur sosiologis massal dipaksakan olehkekuatan-kekuatan teknik dan kebijaksanaan ekonomi (produk industri),yang melampaui kemampuan manusia. 5. Teknik-teknik manusiawi dalam arti ketat. Artinya, teknik-teknik manusiawi harus memberikan kepada manusia suatukehidupan manusia yang sehat dan seimbang, bebas dari tekanan-tekanan.Teknik harus menyelaraskan diri dengan kepentingan manusia bukansebaliknya. Melalui teknik bukan berarti menghilangkan kodrat manusiaitu sendiri, tetapi perlu memanusiakan teknik. Manusia bukan objek tekniktetapi sebagai subjek teknik. Kondisi sekarang sering manusia itu menjadi objek teknik dan harusselalu menyesuaikan diri dengan teknik. Akibat kondisi yang dipaparkan tadi, dampak teknik itu sendiri bagimanusia sudah dirasakan dan fenomenannya nampak. Seperti: anggapanpara ahli teknik bahwa manusia hanyalah mitos abstrak, manusia mesin(manusia mengadaptasikan diri kepada mesin), penerapan teknik memecahbelah manusia (tidak ada kesempatan mengembangkan kepribadiannya),timbul kemenangan pada alam tak sadar, simbol-simbol tradisional digantidengan teknik, terbentuknya manusia-massa (gaya hidup dibentuk oleh iklan)dan nampak teknik sudah mendominasi kehidupan manusia secaramenyeluruh.
Adapun Alvion Toffler (1970) mengumpamakan “teknologi” itu sebagaimesin yang besar atau sebuah akselerator (alat mempercepat) yang dahsyat,dan ilmu pengetahuan sebagai bahan bakarnya. Dengan meningkatnya ilmupengetahuan secara kuantitatif dan kualitatif, maka kian meningkat pula prosesakselerasi yang ditimbulkan oleh mesin pengubah, lebih-lebih teknologimampu menghasilkan teknologi yang lebih banyak dan lebih baik lagi. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagian-bagian yang dapatdibeda-bedakan, tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan dari suatu sistem yangberinteraksi dengan sistem-sistem lain dalam kerangka nasional sepertikemiskinan. Maka ada interrelasi, interaksi, dan interdependensi antarakemiskinan dan sistem atau subsistem “ilmu pengetahuan dan teknologi”. Saat ini sudah dikonstantasi, bahwa negara-negara teknologi maju telahmemasuki tahap superindustrialisme, melalui inovasi teknologis tiga tahap :(a) ide kreatif, (b) penerapan praktisnya, dan (c) difusi atau penyebarluasandalam masyarakat. Ketiga tahap ini merupakan siklus yang menimbulkanbermacam-macam ide kreatif baru sehingga merupakan reaksi berantai yangdisebut proses perubahan. Dengan semakin meningkatnya teknologi. tempat proses perubahan itutidak dapat dipandang “normal” lagi, dan tercapailah akselerasi ekksternmaupun intern (psikologis) yang merupakan kekuatan sosial yang kurangmendalam dipahami. Dalam hal akselerasi, apabila masa depan itu menyerbu masa kini dengankecepatan yang terlampau tinggi, maka masyarakat atas dapat mengindappenyakit “*progeria”, yakni tingkat menua yang lanjut sekalipun secarakronologis usianya belum tua. Bagi masyarakat semacam itu, perubahantersebut seolah-olah tidak dapat dikendalikan lagi, kemudian dicari semacamkekebalan diplomatik terhadap perubahan. Tak mustahil pula akan timbulfuture shock atau “kejutan masa depan”, yaitu sesuatu penderitaan fisik danatau mental yang timbul apabila sistem adaptif fisik dari organisme manusiaitu, beserta proses pembuatan keputusannya, terlampau banyak dilewati dayadukungnya. Akselerasi perubahan secara drastis dapat mengubah mengalirkan“situasi”. Dalam hal ini situasi dapat dianalisis menurut lima komponen dasar, yaitu (1) benda, (2) tempat, (3) manusia, (4) organisasi dan (5) ide. Hubungan kelima komponen itu, ditambah dengan faktor Waktu, membentuk kerangkapengalaman sosial.
Menurut Toffler ada kekuatan lain yang dapat mengubah wajah daneksistensi manusia selain akselerasi, yaitu transience (keadaan yang bersifatsementara). Transience merupakan alat kasar yang berguna dalam mengukurlaju mengalirnya situasi, dan menjembatani teori-teori sosiologis tentangperubahan dan psikologi insasi perseorangan. Masyarakat, menurut transisence, dibagi ke dalam dua kelompok : (1) high transience dan (2) low transience. Eksplorasinya mengenai kehidupan masyarakat high transience menghasilkanringkasan sebagai berikut 2 a. Benda: hubungan “manusia-benda” tidak awet, dan masyarakatnyamerupakan masyarakat pembuang. Bandingkan, misalnya, vulpen bertintayang ”permanen” dengan ball point yang dibuang setelah habis. b. Tempat: Hubungan “manusia-tempat” menjadi lebih sering, lebih rapuh, dan lebih sementara; jarak fisik semakin tidak berarti, masyarakat amatmobil penuh dengan “nomad baru”. Secara kiasan, ”tempat” pun seolah-olah cepat terpakai habis, tak berbeda dengan, misalnya, minuman dalam kaleng. c. Manusia: hubungan “manusia-manusia” pun pada umumnya menjadisangat sementara dan coraknya fungsional. Kontak antar manusia tidak menyangkut keseluruhan personalitas, melainkan bersifat dangkal danterbatas; secara kiasan terdapat “orang yang dapat dibuang”. d. Organisasi: organisasi ada kecenderungan menjadi superbirokrasi di masadepan. Manusia dapat kehilangan individualitas dan personalitasnya dalammesin organisasi yang besar, namun hakikat sistemnya sendiri telahbanyak mengalami perubahan. Hubungan “manusia-organisasi” punseolah-olah menjadi mengalir dan beraneka ragam, menjadi sementara,baik hubungan formalnya (departemen, bagian, klub, dsb) maupuninformalnya (klik, kelompok minum kopi, dsb). Banyak cara “*proyek”,“kelompok task force”, dsb., yang semuanya pada hakikatnya merupakan“kelompok ad hoc” atau hanya untuk keperluan khusus. e. Ide: hubungan “manusia-ide” bersifat sementara karena ide dan imagetimbul dan menghilang dengan lebih cepat. Gelombang demi gelombangide menyusupi hampir segala bidang aktivitas manusia. Semula ciri-ciri akselerasi dan transience yang semakin tinggi padamasyarakat'yang semakin maju teknologinya, menyebabkan seolah-olah satu-satunya yang tetap adalah perubahan, meliputi perubahan nilai operasional,fungsi dan keahlian, yang sifatnya mengganti, mengubah, menambah,menyusun, menghapus, dan menguatkan. Kesemuanya merupakan bahan pertimbangan dalam proses alih teknologi, bagaimana apakah ada relevansinyadengan kebutuhan masyarakat, ada keserasian dengan cara hidup, mudah-tidaknya dalam penerapan, dan memberikan keuntungan atau tidak secaranyata. Oleh karena itu, perlu diperhatikan tigaruang dimensi yang meliputibidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan bidang alam, ekonomi, sosial-budaya;serta bidang politik, yang ketiganya saling berhubungan. Ketentuan-ketentuan di atas menjelaskan bahwa teknologi dalam situasitertentu dapat tidak netral lagi karena mengandung potensi merusak dan potensikekuasaan. Teknologi bersifat ambivalen; di samping segi yang positif, jugamemperlihatkan yang negatif, terkadang dianggap suci demi tujuan akhir,bukan sebagai alat lagi. Oleh karena itu teknologi membutuhkan bimbinganmoral atau ajaran-ajaran agama, menentukan apa yang harus dan apa yangjangan dilakukan. Kebudayaan teknik dijadikan suatu strategi yang mengajaksemua orang berpartisipasi, bukan seorang tahanan dalam kurungan daya-daya teknik. Etika, moral, dan ajaran agama menerobos teknis, membukasuatu dimensi transenden, mengatasi imanensi sebagai strategi kebudayaandengan evaluasi kritis dan tanggung jawab. 

Canggihnya Teknologi Positif Dan Negatif
Bagaimana manusia bertanggungjawab terhadap hasil teknologi modern, berdasarkan “interaksi” hubungantimbal-balik antara kesadaran etis dan masalah-masalah kongkret. Untuk itu semua diperlukan counter play yang sejati, bersifat normatif bagi manusia. Tuhan, keadilan dan perikemanusiaan, hendaklah mulai berfungsi dalam situasi manusia yang kongkret, artinya jelas, langsung dapatdilihat, menyangkut hal urgen, berpijak pada kenyataan. Demikian pulapandangan terhadap teknologi harus menekankan pada keserasian antarateknologi dengan kepentingan manusia dan integritas ekosistem. Hal ini dapatberlangsung dengan cara : (l) memberikan banyak alternatif pilihan teknologi.(2) adanya interaksi yang serasi antara manusia, mesin-mesin dan biosfer.Agar sistem ekonomi terpelihara, (3) teknologi harus baik secara termodinamisdemi tercapainya keseimbangan energi, ekonomi dan ekologis, (4) teknologiharus menopang hidup manusia bukan sebaliknya. Pandangan ini dikenaldengan pandangan “appropriate technology” (penyediaan teknologi) menurutkonsepnya E.F Scumacher (1979). Padangan sebelumnya terhadap teknologi adalah anarki teknologi (technological anarchy), yang memandang teknologiserba baik. Pandangan ini kemudian bergeser menjadi cinta akan teknologi(technophilia), kemudian menjadi pandangan kekecewaan terhadap teknologi(technophobia). Pandangan ini berubah secara bertahap, meskipun dalamkenyataannya negara-negara berkembang terdesak oleh keadaan sosial ekonomi  yang mengkhawatirkan, sering dihadapkan kepada masalah bagaimanapandangan yang tepat bagi negaranya dapat diterapkan. Alternatif untukmengatasi masalah demikian, dikembangkan apa yang disebut dengan“teknologi tepat guna”. 
Teknologi tepat guna atau appropriate technology adalah pengembangan teknologi yang sesuai dengan situasi budaya dangeografis masyarakat, penentuan teknologi sendiri sebagai suatu identitas budaya setempat serta menggunakan teknologi dalam proses produksi untuk menghasilkan barang-barang kebutuhan dasar dan bukan barang-barang objekketamakan. 
Contohnya:
Teknologi tepat guna sering tidak berdaya menghadapi teknologi Barat,yang sering masuk dengan ditunggangi oleh segelintir orang atau kelompokyang bermodal besar. Ciri-ciri teknologi Barat tersebut adalah : l) Serba intensif dalam segala hal, seperti modal, organisasi, tenaga kerja dan lain-lain, sehingga lebih akrab dengan kaum elit daripada dengan buruh itu sendiri. 2) Dalam struktur sosial, teknologi barat bersifat melestarikan sifat kebergantungan. 3) Kosmologi atau pandangan teknologi Barat adalah: menganggap dirinyasebagai pusat yang lain feriferi, Waktu berkaitan dengan kemajuan secaralinier, memahami realitas secara terpisah dan berpandangan manusiasebagai tuan atau mengambil jarak dengan alam.

KEMISKINAN
Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untukmemenuhi kebutuhan hidup yang pokok. dikatakan berada di bawah gariskemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupyang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh, dll. (Emil Salim,1982). Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagaiinspirasi dasar dan perjuangan akan kemerdekaan bangsa, dan motivasi fun-damental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur. Garis kemiskinan, yang menentukan batas minimum pendapatan yangdiperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, bisa dipengaruhi oleh tiga hal: (1) persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan, (2)posisi manusia dalam lingkungan sekitar, dan (3) kebutuhan objektif manusiauntuk bisa hidup secara manusiawi. Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan di pengaruhioleh tingkat pendidikan, adat-istiadat, dan sistem nilai yang dimiliki. Dalamhal ini garis kemiskinan dapat tinggi atau rendah. Terhadap posisi manusiadalam lingkungan sosial, bukan ukuran kebutuhan pokok yang menentukan, melainkan bagaimana posisi pendapatannya ditengah-tengah masyarakatsekitarnya. Kebutuhan objektif manusia untuk bisa hidup secara manusiawiditentukan oleh komposisi pangann apakah bernilai gizi cukup dengan nilaiprotein dan kalori cukup sesuai dengan tingkat umur` jenis kelamin, sifatpekerjaan, keadaan iklim dan lingkugan yang dialaminya. Kesemuanya dapat tersimpul dalam barang dan jasa dan tertuangkandalam nilai uang sebagai patokan bagi penetapan pendapatan minimal yangdiperlukan, sehingga garis kemiskinan ditentukanoleh tingkat pendapatanminimal (versi Bank Dunia di kota 75 dolar AS, dan di desa 50 dollar AS perjiwa setahun, 1973). Menurut Prof. Sayogya (1969), garis kemiskinandinyatakan dalam rp/tahun, ekuivalen dengan nilai tukar beras (kg/orang/bulan, yaitu untuk desa 320 kg/orang/tahun dan untuk kota 480 kg/orang/tahun). Atas dasar ukuran ini maka mereka yang hidup di bawah garis kemiskinanmemiliki Ciri-ciri sebagai berikut : a. tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, keterampilan, dsb; b. tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengankekuatan sendiri, seperti untuk memperoleh tanah garapan atau modal usaha: c. tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat sekolah dasarkarena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan; d. kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas self employed), berusaha apa saja; e. banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak mempunyai keterampilan. Kemiskinan menurut orang lapangan (umum) dapat dikategorikan kedalamtiga unsur: (l) kemiskinan yang disebabkan handicap badaniah ataupun mentalseseorang, (2) kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam, dan (3)kemiskinan buatan. Yang relevan dalam hal ini adalah kemiskinan buatan,buatan manusia terhadap manusia pula yang disebut dengan kemiskinanstrukturalltulah kemiskinan yang timbul oleh dan dari struktur-struktur (buatanmanusia), baik struktur ekonomi, politik, sosial, maupun kultur. Kemiskinan buatan ini, selain ditimbulkan oleh struktur ekonomi, politik,sosial, dan kultur, jgua dimanfaatkan oleh sikap “penenangan” atau “*nrimo”,memandang kemiskinan sebagai nasib, malahan sebagai takdir Tuhan.
Kemiskinan menjadi suatu kebudayaan (culture of provierty) atau suatusubkultur, yang mempunyai struktur dan way of life yang telah menjaditurun-temurun melalui jalur keluarga. Kemiskinan (yang membudaya) itudisebabkan oleh dan selama proses perubahan sosial secara fundamental,seperti transisi dari feodalisme ke kapitalisme, perubahan teknologi yangcepat, kolonialisme, dsb. Obatnya tidak lain adalah revolusi yang sama radikaldan meluasnya. Karena kemiskinan di antaranya disebabkan oleh struktur ekonomi, maka terlebih dahulu perlu memahami inti pokok dari suatu “struktur”. Inti pokokdari struktur adalah realisasi hubungan antara suatu subjek dan objek, danantara subjek-subjek komponen-komponen yang merupakan bagian dan suatusistem. Maka permasalahan struktur yang penting dalam hal ini adalah polarelasi. Ini mencakup masalah kondisi dan posisi komponen (subjek-subjek)dari struktur yang bersangkutan dalam keseluruhan tata susunan atau sistemdan fungsi dari subjek atau komponen tersebut dalam keseluruhan fungsi dan sistem. Pola relasi dari struktur ini. yang urgen adalah struktur dalam soal sosial-ekonomi meskipun struktur lainnya menentukan. Pola relasi dalam struktursosial ekonomi ini dapat diuraikan sebagai berikut : a. Pola relasi antara manusia (subjek) dengan sumber-sumber kemakmuran ekonomi seperti alat-alat produksi, fasilitas-fasilitas negara, perbankan,dan kekayaan sosial. Apakah ini dimiliki, disewa, bagi-hasil, gampangatau sulit bagi atau oleh subjek tersebut_ b. Pola relasi antara subjek dengan hasil produksi. Ini menyangkut masalah distribusi hasil, apakah memperoleh apa yang diperlukan sesuai dengankelayakan derajat hidup manusiawi. c. Pola relasi antara subjek atau komponen-komponen sosial-ekonomi dalamkeseluruhan mata rantai kegiatan dengan bantuan sistem produksi. Dalam hal iniadalah mekanisme pasar, bagaimana posisi dan perananmanusia sebagai subjek dalam berfungsinya mekanisme tersebut. Secara analog dapat ditentukan pola-pola relasi dalam bidang ekonomi.Kesemuanya merupakan substruktur atau subsistem dari struktur dan sistemkemasyarakatan yang berlaku yangm endasari masalah-masalah kemiskinan.Dengan demikian kemiskinan berkaitan langsung dengan sistemkemasyarakatan secara menyeluruh, dan bukan hanya masalah ekonomi ataupolitik atau sosial-budaya. Maka penanganannya harus berlangsung secarakomprehensif, dengan suatu strategi yang mengandung kaitan-kaitan dari semua.

Sumber                :
·         Elearning Gunadarma “Ilmu Pengetahuan, Teknologi Dan Kemiskinan” http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/mkdu_isd/bab8-ilmu_pengetahuan_teknologi_dan_kemiskinan.pdf.
 

(c)2009 ....... Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger