Pages

Selasa, 09 Agustus 2011

Buat kamu dari seseorang yang berjuang melawan dirinya sendiri.

Dear A,
Hampir tiap hari sudah berlalu.
Seratus hari setelah aku meminta kisah kita berhenti ditulis karena kau mengotorinya dengan memasukkan tokoh pria-pria lain yang tak perlu.
Seratus hari.
Dan dalam seratus hari ada banyak sekali yang terjadi.
Dalam seratus hari itu, entah sudah berapa ratus kali aku menangis.
Entahlah, mungkin karena merasa gagal. Gagal menjadi satu-satunya pria yang bisa kaucintai.
Gagal menjadi satu-satunya yang berharga yang harusnya cukup untuk kau miliki.
Atau mungkin…
Karena memang aku benci dikhianati.
Karena aku terlalu egois untuk sudi membagimu pada pria lain.
Entahlah.
Dalam seratus hari itu pula, A, ada puluhan malam di mana aku tersentak bangun dari tidurku.
Lalu dadaku sakit seperti ditinju.
Hanya karena rindu padamu.
Ah… Alam bawah sadarku rupanya sudah terlanjur menyimpan terlalu banyak esensimu.
Senyummu, tawamu, suaramu, tekstur kulitmu, aroma parfummu, suhu tubuhmu, hembusan nafasmu…
Terlalu banyak, A.
Terlalu banyak.
Dalam seratus hari itu, ada beberapa saat bodoh di mana aku jatuh hati lagi padamu.
Padamu, A, sebagai satu keutuhan.
Bukan pada ide-ide bahagia tentangmu.
Padamu. Kau.
Cacat-celamu.
Lebih-kurangmu.
Sehat-sakitmu.
Ibarat sedang mengemudi, aku beberapa kali melambatkan kendaraanku, lalu melirik kaca spion sambil sedikit berharap.
Bahwa di sudut spion itu kau akan terlihat berlari-lari mengejarku.
Kusebut itu saat-saat yang bodoh, A, karena kau tidak pernah terlihat dari sini. Dari spion bodoh ini.
Dalam seratus hari itu, entah sudah berapa kali aku memintamu, bukan, aku bahkan mengibamu, untuk berhenti menghubungiku.
Jangan repot-repot menanyakan kabarku, apalagi mengucap rindu.
Karena saat kau kirim pesan singkat “I miss you…”, hatiku melonjak sangat tinggi, lalu dengan sangat keras terhempas ke bumi.
Sakit sekali.
Sakit karena aku tidak tahu, entah kepada siapa saja kau kirimkan pesan itu…
Sementara aku, yang membalas “I miss you more…” walau hanya ku ucapkan dalam hati, kukirimkan hanya untukmu.
Dalam seratus hari itu, entah berapa ribu kali aku tersentak saat kudengar telepon genggam membunyikan isyarat pesan singkat.
Dan yang lucu, aku dibuat gila sendiri.
Kembali kurasakan rongga dadaku sakit, tapi syaraf-syaraf di kepalaku memekik bahagia.
Semacam selaput rasa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Ini perang.
Perangku melawan diriku sendiri.
Tapi entah aku ada di pihak siapa.

Kau belum pernah mengecupku dan belum pernah memelukku, menatapku sudah berkali-kali… Tapi kau menyentuh hidupku lama sekali.
Kurang-lebih seratus hari.
Dan terus terang kukatakan, aku benci begini.
Aku benci saat hati dan logikaku harus saling melawan sendiri.
Aku benci menjadi letih dipermainkan….
Cinta.
Memori.
Kamu.

Aku benci.
Oh iya, A, ini rahasia kita berdua saja ya. Logikaku jangan sampai tahu…
Dalam seratus hari itu, entah berapa ratus kali kau melayang-layang di atas permukaan laut memoriku.
Kadang saat aku mau tidur.
Kadang saat aku baru membuka mata di pagi hari.
Bahkan saat aku ada di ketinggian 35.000 kaki di atas permukaan laut, melintasi 2 pulau dan entah berapa puluh Provinsi.
Kemanapun aku pergi, kau menggangguku dari sini, dari lapisan terdalam kesadaranku.
Aku… Benci.
Tapi…
(Aku benci mengakui ini) aku rindu.
Jika logikaku berwujud manusia, dia pasti sudah membunuhku karena menulis surat ini untukmu.
Salam,
Dari seseorang yang berjuang melawan dirinya sendiri.
Ini apa sih, A? Kenapa kau selalu ada dipikaranku? Ini kekuatan pikiran? Kekuatan rindu? Atau memang hanya kebetulan?
Jangan dijawab!!!
Aku tak mau mencari jawabannya, A.
Aku… Benci.

0 komentar:

Posting Komentar

 

(c)2009 ....... Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger